Minggu, 28 Juli 2013

Sejarah Sunan Muria

Keluarga dan Keturunan Sunan Muria

Keluarga para Wali Sembilan, termasuk para isteri dan para puteranya sering ada yang kurang jelas. Hal ini disebabkah karena kekacauan di dalam catatan silsilah dan keturunan yang ada. Bahkan dalam satu catatan silsilah dan keturunan seorang wali dari wali sembilan itu terdapat dua atau beberapa versi. Hal ini bisa ter jadi karena setiap versi itu "didukung" oleh orang-orang atau oknum-oknom tertentu yang "mengakui" bahwa dirinyalah yang termasuk keturunan Wali "A" atau Wali "B".
Demikian pula tentang isteri para Wali, karena yang tercantum dalam catatan terkadang hanya seorang isteri dan dengan isteri tersebut sang Wali mempunyai seorang atau beberapa orangputera, tetapi dalam cerita lain disebutkan bahwa wali tersebut mempunyai putera-putera yang lain yang tidak ada dalam catatan resmi. Ini bisa terjadi mungkin karena sang wali tersebut tidak hanya seorang saja isterinya, tetapi lebih dari satu. Mungkin demikian juga hal nya dengan Sunan Muria.
1.   Dewi Sujinah, berputera Pangeran Santri.
Menurut catatan yang dapat dipercaya, isteri Sunan Muria bernama Dewi Sujinah, puteri Sunan Ngudung alias Raden Usman Haji. Jadi Sunan Muria adalah iparnya Sunan Kudus, karena Dewi Sujinah itu kakaknya Sunan Kudus. Dewi Sujinah dimakamkan di belakang Masjid Menara Kudus, yakni di komplek makam Sunan Kudus.
Dalam pernikahannya dengan Dewi Sujinah itu Sunan Muria mempunyai seorang putera yang bernama Pangeran Santri yang kemudian dinamakan pula Sunan Ngadilangu. Dengan sebutan Sunan Ngadilangu ini, maka dapat menguatkan pula pendapat bahwa Sunan Muria adalah puteranya Sunan Kalijaga yang berdomisili di Kadilangu Demak. Terbukti cucunya Sunan Kalijaga ini (yakni Pangeran Santri) diberi paraban atau julukan pula de­ngan Sunan Ngadilangu.
2.   Panembahan Pengulu Patih.
Menurut sumber dari Kadilangu Demak ('Tustoko Darah Agung"), Panembahan Pengulu Patih adalah putera Sunan Muria. Yang disebutkan hanya satu orang itu. Dan tentunya ini tidak membuka kemungkinan bahwa Sunan Muria mempunyai putera lain selain Panembahan Pengulu Patih, yang tentunya dari isteri yang lain. (Namun dalam catatan tidak disebutkan bahwa Sunan Muria mempunyai isteri-isteri lagi selain Dewi Sujinah).
Sumber tersebut ada tertulis :
1.   Raden Umar Said Sunan Muria
2.   Berputera Panembahan Pengulu Patih
3.   Berputera Panembahan Jogodipo, di Colo
4.   Berputera Pangeran Sokusumo alias Pangeran Agung
5.   Berputera Pangeran Wongsokusumo, di Jatikambang
6.   Berputera Pangeran Joyotruno, di Jatipandak
7.   Berputera Pangeran Hartokusumo, yang berputera tiga orang, yakni:
1). Pangeran Martokusumo (Cendono), yang mempunyai isteri bernama Raden Ayu Retno Dumilah (keturunan Pangeran Wijil I dari Kadilangu Demak)
2). Pangeran Honggokusumo
3). Pangeran Honggotaruno Kanoman (Krandangan Pati).
Menurut sumber silsilah yang tercantum di makam Sunan Muria sekarang ini, tercantum sebagai berikut :
1.   Sayid Amir Haji (Sunan Muria)
2.   Berputera Panembahan Pengulu (Jogodipo)
3.   Berputera Panembahan Reksokusumo (Pangeran Ageng, Colo)
4.   Berputera Pangeran Wongsokusumo  (P. Sedo Kambang)
5.   Berputera Pangeran Teleng alias Joko Kusumo),   yang berputera tiga orang, yakni :
1). P. Sosrokusumo (Kadilangu)
2). P. Honggokusumo (Pandak)
3). P. Mertokusumo (Cendono).
Menurut Juru Kunci makam Sunan Muria yang sekarang, yakni Karto Dirono (lahir tahun 1911, keturunan Sunan Muria yang ke- 12 dan dinas di pasareyan Sunan Muria sejak tahun 1927), * mengatakan bahwa Panembahan Pengulu Jogodipo yang makamnya persis di belakang dinding masjid Muria (sebelah selatan mihrab) itu adalah putera sulungnya Sunan Muria.
Tetapi menurut sumber dari Kadilangu di atas, Panembahan Jogodipo adalah cucunya Sunan Muria. (Silsilah yang tercantum di dinding makam Sunan Muria seperti yang disebutkan di atas, menyebutkan bahwa Panembahan Pengulu Jogodipo adalah putera sulungnya Sunan Muria).
Apakah nama Panembahan Pengulu Patih (sumber Kadilangu) itu sama orangnya dengan Panembahan Pengulu Jogodipo (sumber silsilah yang ada di makam Sunan Muria)? Karena sama-sama ada nama Panembahan Pengulu, meskipun yang pertama disebutkan Patih, yang kedua disebutkan Jojodipo. Wallahu’ lam.
3.   Raden Ayu Nasiki.
Menurut Juru Kunci makam Sunan Muria (Karto Dirono), makam (jirat nisan) yang ada di sisi (sebelah timumya) pasareyan atau nisannya Sunan Muria, adalah puterinya Sunan Muria juga yang bernama Raden Ayu Nasiki.
4.   Dewi Roroyono.
Tentang Dewi Roroyono yang konon menurut cerita rakyat adalah isteri Sunan Muria, ini memang tidak tercatat dalam buku-buku sejarah yang ada.
5.   Raden Ayu Nawangsih.
Juga Raden Ayu Nawangsih dan Kebonabrang yang juga menurut cerita rakyat adalah sebagai putera Sunan Muria, hal ini tidak tercatat dalam buku sejarah. Mungkin masih ada isteri atau para putera Sunan Muria yang lain, tetapi itu semua terdapat dalam dongeng cerita rakyat. Wallahua’lam.
APAKAH SUNAN MURIA KETURUNAN PERANAKAN TIONGHOA ?
Di dalam sebuah buku sejarah berjudul "Runtuhnya Kerajaan Hindhu Jawa dan timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara" tulisan Prof. Dr. Slamet Muljana terbitan penerbit Bhratara, Jakarta tahun 1968, dijelaskan bahwa para tokoh sejarah yang memegang tampuk pemerintahan kerajaan Islam Demak dan di antara para Wali Sembilan adalah orang-orang Cina dan keturunan Cina.
Bukunya Prof. Dr. Slamet Muljana itu mengambil sumber dari bukunya Ir. Mangaraja Onggang Parlindungan yang berjudul "Tuangku Rao". Dan "Tuanku Rao" disusun menurut sumber dari ringkasan preambule prasarannya Residen Poortman kepada pemerintah Hindia Belanda, yang mana naskah Poortman itu ber sumber dari dokumen yang didapat di klenteng Sam Po Kong Semarang dan klenteng Talang Cirebon.
Bukunya Prof. Dr. Slamet Muljana "Runtuhnya Kerajaan Hindhu - Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara" itu kemudian dilarang beredar di seluruh wilayah Indonesia oleh Kejaksaan Agung tertanggal 26 Juni 1971 dengan No. Kep. 043/DA/6/1971. Adapun alasan dilarangnya buku tersebut beredar di seluruh Indonesia adalah karena isi buku tersebut dianggap "mengganggu ketertiban umum dan hukum di Indonesia, dan dengan alasan untuk mencegah jangan sampai timbul hal-hal yang tak diinginkan dalam masyarakat," demikian keterangan Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Kejaksaan Agung kepada "Antara" ketika itu.
 1.   Berita Dari Klenteng Sam Po Kong Semarang.
Dalam bukunya Prof. Slamet Muljana itu dijelaskan, bahwa cerita tentang dokumen yang diketemukan di klenteng Sam Po Kong Semarang itu bermula ketika pada tahun 1928 Poortman menjadi Acting Adviseur voor Inslandsche Zaken van het Bin-nenlandsch Bestuur di Batavia, yakni semacam Pejabat Penasehat Urusan Pemerintahah Dalam Negeri di Jakarta ketika itu. Pada tahun itu pula, Residen Poortman ditugaskan oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk menyelidiki apakah benar bahwa Raden Patah adalah orang Tionghoa. Residen Poortman tahu, bahwa kata Jin bun adalah dialek Yunan yang artinya orang kuat yang mana Raden Patah mendapat julukan nama Jin Bun, padahal nama Jin Bun tidak pernah termuat dalam berita Tionghoa dari keluarga Ming.
Pada tahun 1928 itu juga Residen Poortman berangkat ke Semarang. Kebetulan sekali waktu itu sedang timbul pemberontakan oleh kaum kemunis, maka baginya adalah kesempatan yang baik, yakni punya alasan untuk menggeledah klenteng Sam Po Kong. Residen Poortman waktu itu kemudian mengangkut semua tulisan Tionghoa dari klenteng tersebut sebanyak tiga cikar (gero-bag sado). Tulisan-tulisan atau dokumen dari klenteng Sam Po Kong tersebut oleh Residen Poortman kemudian dijadikan bahan penyelidikan tentang Panembahan Jin Bun alias Raden Patah. Tidak hanya Raden Patah saja yang dikatakan sebagai orang Tionghoa, tetapi tokoh-tokoh kerajaan Islam Demak lainnya dan banyak di antara para wali sembilan adalah orang-orang Tionghoa belaka. Kesimpulan itu dihubungkan pula dengan keterangan dari dukumen yang ditemukan di klenteng Talang Cirebon.
Namun hasil penelitian Poortman itu, atas permintaannya sendiri tetap dirahasiakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, hanya boleh digunakan di kantor oleh pejabat-pejabat tertentu, dengan alasan demi ketenteraman pulau Jawa. Karena jika hasil penelitian itu diketahui oleh umum secara luas, sudah pasti menirnbulkan kegoncangan dalam masyarakat Islam di pulau Jawa. Di kalangan masyarakat Tionghoa mungkin timbul rasa kebanggaan, karena di antara orang-orang Tionghoa perantauan terdapat orang-orang penting baik dalam ketatanegaraan maupun dalam kehidupan keagamaan. Maka tidak sembarang orang yang boleh membacanya, kecuali hanya dapat dibaca di kantor-kantor saja oleh pejabat-pejabat tertentu.
Hasil penelitian Residen Poortman itu termuat dalam preambule suatu praeadvies (prasaran) kepada pemerintah kolonial Belanda, dan prasaran tersebut diberi tanda GZG singkatan dari Geheim Zeer Geheim, yang artinya: sangat rahasia. Ditambah dengan keterangan uitsluitend voor Dienstgebruik ten kantore, yang artinya: hanya boleh digunakan di kantor saja.
Prasaran Poortman tersebut dalam bentuk cetakan, tetapi jumlahnya hanya lima buah saja dengan tanda angka. Prasaran itu dimaksudkan terutama hanya bagi :
1.   Perdana   Menteri Colijn.
2.   Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
3.   Menteri Jajahan.
4.   Arsip Negara di Rijswijk di Den Haag, dan
5.   Tentunya Residen Poortman sendiri pasti memiliki satu eksemplar.
Prasaran Poortman itu masih terdapat di Nederland, yakni di gedung Rijswijk. Poortman sendiri meninggal dunia pada tahun 1951 di Voorburg. Kiranya eksemplar Poortman jatuh ke tangan ahli warisnya. Dan Ir. Mangaraja Onggang Parlindungan se bagai putera Sutan Martuaraja, amat dikasihi oleh Residen Poort­man. Ketika ia belajar di sekolah tinggi tehnologi di Delft, ia sempat membaca dan mengutip preambule prasaran tersebutdi Gedung Negara Rijswijk. Kutipan itu tersimpan hingga sekarang di rumahnya. Saya (Prof. Dr. Slamet Muljana) mendapat kehormatan untuk melihat catatan-catatan yang dibuat oleh Ir. Mangaraja Onggang Parlindungan tersebut mengenai preambule Poortman. Kutipan dari preambule itu lalu oleh Ir. Mangaraja Onggang Parlindungan dibeberkan dalam bukunya yang berjudul "Tuanku Rao" sebagai lampiran. XXXI dari halaman 650 hingga 672 *) Demikianlah, buku "Tuanku Rao" terutama Lampiran XXXI dijadikan sumber utama oleh Prof. Dr. Slamet Muljana dalam menyususn bukunya yang berjudul "Runtuhnya Kerajaan Hin-dhu-Jawa dan timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara" yang kemudian telah dilarang beredarnya oleh Jaksa Agung sebagai mana telah dijelaskan di muka tadi.
2.   Sunan Muria Keturunan Cina?
Menurut berita dari klenteng Sam Po Kong Semarang yang dijadikan sumber utama dalam penulisan buku "Runtuhnya Kerajaan Hindhu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara," ternyata Sunan Kalijaga, seorang "waliyullah," di antara Wali Sembilan yang terkenal di Jawa, adalah seorang kapten Tionghoa di Semarang. Nama aslinya adalah Gan Sie Gang. Demikian pula Sunan Ampel alias Bong Swie Hoo, Sunan Kudus alias Ja Tik Su, dan Sunan Gunung Jati alias Toh A Bo. Sedangkan Sunan Bonang, Sunan Giri dan Sunan Muria adalah sebagai orang-orang peranakan Tionghoa belaka, dan ketiga beliau ini   tidak  pandai berbahasa  Tionghoa,  karena beliau-beliau  ini hidup dalam masyarakat Islam di Jawa. **)
Identifikasi tokoh-tokoh Wali Sanga, para tokoh kerajaan Islam Demak dan para tokoh di kabupaten Tuban dalam buku nya Prof. Dr. Slamet Muljana tidak dijelaskan di sini, kecuali hanya Sunan Kalijaga sajalah yang sedikit dijelaskan, karena beliau menurut sumber yang telah dijelaskan pada Bab I ternyata adalah ayah dari Sunan Muria yang sedang dibicarakan dalam buku ini.
Dalam bukunya Prof. Dr. Slamet Muljana mulai halaman 103 dikisahkan bahwa Gan Eng Cu alias Bupati Tuban Aria Teja mem punyai putera yang bernama Gan Si Gang alias Raden Mas Said Sunan Kalijaga dan Ni Gede Manila. Ni Cede Manila ini diambil isteri oleh Bong Swie Hoo alias Sunan Ampel. Dengan demikian maka Sunan Ampel adalah iparnya Sunan Kalijaga.
Apakah benar bahwa Kapten Cina yang bernama Gan Eng Cu alias Aria Teja mempunyai putera yang bernama Gan Si Gang yang diidentifikasikan dengan nama Sunan Kalijaga? Dikisahkan selanjutnya bahwa setelah Jin Bun alias Raden Patah Sultan Demak berhasil merobohkan kerajaan Majapahit pada tahun 1478, Kin San alias Raden Kusen selaku orang yang paling berkuasa di Semarang, mengangkat Gan Si Cang alias Sunan Kalijaga sebagai Kapten Cina. Dalam kerja sama dengan Gan Si Cang ini Kin San berhasil membangun kembali penggergajian kayu dan galangan kapal Semarang yang sudah sangat terbengkelai.
Pada tahun 1481 atas desakan para tukang kayu di galangan kapal Semarang, Gan Si Cang selaku Kapten Cina menyampaikan permohonan kepada Kin San untuk ikut membantu penyelesaian bangunan Masjid Agung Demak. Permohonan itu dilanjutkan ke pada Jin Bun sebagai penguasa tertinggi (Sultan Demak I) di kerajaan Islam Demak. Jin Bun pun menyetujuinya. Demikianlah, pembangunan Masjid Agung Demak itu diselesaikan oleh tukang-tukang kayu di galangan kapal Semarang di bawah pimpin an Gan Si Cang (Sunan Kalijaga) selaku Kapten Cina. Saka tatal Masjid Demak dibikin menurut konstruksi tiang kapal, tersusun dari kepingan-kepingan kayu yang sangat tepat dan rapi.
Demikianlah maka Sunan Kalijaga yang waktu mudanya her nama Raden Mas Said itu diidentifikasikan dengan Gan Si Cang, Kapten Cina Semarang, putera Gan Eng Cu alias Aria Teja, Bupati Tuban.
Karena dalam pembicaraan sebelumnya terdapat sumber yang mengatakan bahwa Sunan Muria adalah putera Sunan Kali­jaga, maka dengan demikian Sunan Muria adalah keturunan orang Tionghoa, artinya Sunan Muria adalah orang Tionghoa peranakan yang konon tidak pandai atau tidak dapat berbahasa Tionghoa, karena sejak kecil beliau diasuh dalam masyarakat Islam di Jawa.
3.   Pro dan Kontra.
Ternyata hasil penyelidikan Residen Poortman yang bersumber dari kroniek klenteng Sam Po Kong Semarang mengenai identifikasi tokoh-tokoh wali sanga dan tokoh-tokoh kerajaan Islam Demak adalah orang-orang Cina, menimbulkan pro dan kontra di antara para ahli maupun peminat sejarah. Dalam buku saya berjudul "Sunan Kalijaga" telah banyak dijelaskan ten tang fihak para ahli yang tidak menyetujui hyphotesa Residen Poortman.
Antara lain fihak yang tidak setuju adalah Prof. G.W.J. Drewes, bekas Guru Besar Sastra Arab di Fac. der Letteren pada Universitas Leiden dan bekas Ketua Oosters Genootschap di Nederland, lahir tahun 1899, pernah memimpin "Balai Pustaka" (1930) Jakarta, dan menjadi Guru Besar Hukum Islam di Indonesia, dan hingga tahun 1970 beliau menjabat Guru Besar di Universitas Leiden, Nederland.
Ketika pada tanggal 23 Desember 1971 beliau memberi ceramah di Gedung LIPI Jakarta, atas pertanyaan Prof. Dr. H.M. Rasyidi sehubungan dengan para wali sembilan yang di dalam naskah Poortman adalah keturunan Cina, beliau menjawab bahwa hal itu tidak mempunyai dasar yang kuat.
Selanjutnya beliau mengatakan bahwa Prof. Dr. Slamet Muljana di dalam menyusun bukunya, yang menggunakan sumber "Tuanku Rao" karya Ir. Mangaraja Onggang Parlindungan itu, ternyata "Tuanku Rao" tidak mempunyai dasar dan bukti-bukti yang meyakinkan. Sumber-sumber tersebut diambil dari Babad Tanah Jawi, Serat Kanda, Kroniek Cina dari klenteng Sam Po Kong Semarang dan klenteng Talang Cirebon, semua sumber itu tidak pernah dipakai oleh para ahli sejarah. Sedangkan sumber-yang dari klenteng Sam Po Kong Semarang, Prof. Dr. Slamet Muljana telah menggunakannya lewat tangan ketiga.
Kemudian menurut Prof. Dr. Tujimah, Guru Besar dalam Bahasa Arab dan Sejarah Islam di FSUI Jakarta, mengatakan bahwa para Wall Sanga yang dikatakan sebagai orang-orang Cina itu tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, karena antara lain bahwa kecuali sumber-sumber yang digunakan daiam raenyusun hyphotesa tersebut belum banyak dipakai oleh para sarjana, juga bahwa sumber-sumber tersebut penuh dongeng dan legende, dan bahwa lebih memberatkan dan menerima 100 persen sumber Cina atau membesar-besarkan pengaruh Cina, dan sama sekali tidak menggunakan sumber dari Portugis.
Mungkin juga ada nama-nama pribumi asli yang dibaca atau ditulis menurut lidah Cina, karena pengaruh setiap bahasa dan lidah sesuatu bangsa atas bahasa yang lain memungkinkan terjadinya penyesuaian ejaan. Contohnya seperti khabar menjadi kabar, ilan menjadi iklan, dan sebagainya. Lebih-lebih pendatang baru bangsa Cina yang disebut totok, huruf "r" (Indonesia) ditukar menjadi huruf "1". Sehingga kerja menjadi kelja, borong menjadi belong, sabar menjadi sabal, dan sebagainya. Akhirnya terjadi lah seperti itu, terdapat nama-nama yang berubah dari nama asalnya, seperti dalam naskah Poortman, Kertabhumi menjadi King Ta Bu Mi, Suhita menjadi Su King Ta, Trenggana menjadi Tung Ka Lo, Mukmin menjadi Muk Ming, Bonang men jadi Be Nang, Ki Ageng Gribig menjadi Siawu Ji Big, Ki Ageng Pengging menjadi Hong Pa Hing, Jaka Tingkir menjadi Na Pao Cing, Bintoro menjadi Bing To Lo, Raden Kusen menjadi Kinsan, Toyyib (Pangeran Hadiri, suami Ratu Kalinyamat) menjadi Too Yit, gelar kebangsawanan Arya menjadi A Lu ya, Ja'far Shodiq (Sunan Kudus) menjadi Ja Tik Su, Jambi menjadi Chan Pei, dan sebagainya.
Lagi pula di dalam bukunya Prof. Dr. Slamet Muljana ter dapat kontradiksi antara tokoh Fatahillah (Toh A Bo) yang menjadi ipar dan sekaligus sebagai putera Sultan Trenggono (Tung Ka Lo). *) Demikianlah keterangan Prof. Dr. Tujimah. Untuk lebih jelasnya bacalah buku saya, "Sunan Kalijaga" cetakan ke- 7 terbitan Menara Kudus 1982.
4.   Dokumen yang Hilang.
1 "Naskah Poortman" yang kemudian menjadi "Lampiran XXXI dalam Tuanku Rao." yang konon dicetak hanya terbatas untuk kalangan tertentu saja, ternyata hingga sekarang ini tidak dapat diketemukan walaupun satu lembar sekalipun.
Naskah yang diberikan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berkedudukan di Istana Merdeka Jakarta, ternyata di sana, yakni di ruang arsip, tidak diketemukan. Kata Ir. Parlin-dungan, yang di Jakarta itu tersimpan di 'Museum Jakarta," tetapi kemudian "hilang ketika Jepang masuk ke Indonesia." Entah ini gara-gara Ir. Parlindungan untuk menghilangkan "jejak" atau benar-benar "hilang ketika Jepang masuk," tidak ada orang yang tahu.
Menurut Ir. Parlindungan lagi, konon yang lain disimpan di "Museum Granada Spanyol." dan ada lagi yang disimpan di Gedung Negara Rijswijk di Nederland. Namun seorang orientalist Perancis yang ternama, Denys Lembard, karena tertarik akan penemuan yang sensasionil itu, dalam masa cutinya ia telah memerlukan pergi ke negeri Belanda untuk mencari naskah-naskah yang dikatakan sebagai Prasaran Residen Poortman itu, tetapi ia tidak menemukan hasil apa-apa. Bahkan putera almarhum Residen Poortman sendiri tidak tahu menahu tentang apa yang dikatakan sebagai naskah laporan yang katanya dicetak dalam jumlah ter batas itu. Terlebih pula, gedung negara Risjwijk yang dikatakan sebagai tempat menyimpan naskah Poortman di Den Haag itu ter nyata tidak pernah ada. Yang ada hanyalah Algemeen Rijk-sachief. **)
Beberapa ahli seperti Lance Castles dari Universitas Yale, dan M.C. Ricklefs dari Universitas London, keduanya pernah mengecek "Naskah Poortman" langsung ke Nederland, tetapi naskah tersebut tidak ada ! ***). Bahkan menurut kedua ahli tersebut, mengatakan bahwa gedung Rijswijk pun tidak pernah ada!
Seorang peminat sejarah di bidang ini (yakni seputar Naskah Poortman) dari Semarang bernama Liem Ek Hian, pernah bertanya kepada gurunya di Nederland tentang naskah Poortman dan ia minta agar gurunya itu sudi mengecek naskah yang kontroversiil tersebut, tetapi setelah dicek, ternyata juga tidak diketemukan naskah Poortman tersebut.
Juga Liem Ek Hian pernah minta tolong kepada suami isteri Leonard Blusse, keduanya adalah sinolog yang sedang mengumpul kan bahan-bahan untuk keperluan disertasinya, diminta agar kedua nya menyelidiki "Naskah Poortman" di perpustakaan Fakultas Sinologi di Leiden (negeri Belanda) dan di tempat-tempat lainnya, tetapi dalam jawabannya Leonard Bluuse mengatakan bahwa ia tidak berhasil menemukan. (TEMPO, 10 Mei 1980).
Menurut para ahli lainnya, ternyata "Naskah Poortman" itu hanya bikinan Ir. Parlindungan saja. Lihatlah hasil wawancara Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dengan wartawan Andre Hardjana dalam Sinar Harapan 11 - 10 - 1971 ; Drs. R. Pitono Hardjowardojo dalam Catatan tentang Kronik Sam Po Kong dalam Liberty 20 - 12 - 1969 ; Drs. Hasan Djafar dalam Girindrawardhana, Beberapa Masalah Majapahit Akhir,   Jakarta,  1978,  hal. 21 ; Prof. Dr.    Hamka, dalam    Antara Fakta dan Khayal Tuanku    Rao,Jakarta, 1974. (TEMPO, 29 Maret 1980).
Tentang "tiga gerobag naskah dalam klenteng Sam Po Kong Semarang," benar-benar Prof. Dr. Slamet Muljana hanyalah cuma mengandalkan catatan Ir. Parlindungan saja. Hal ini pernah diragu kan oleh Liem Ek Hian dalam TEMPO No. 11 tahun X, bahwa gerobag di Semarang ketika jaman dirampasnya tulisan dari klenteng Sam Po Kong itu rata-rata berukuran 1V6 x 2 x 1 m 3 = 3 m3, jadi isinya tiga gerobag berarti lebih kurang 9 m3.
Kemudian di manakah letak tulisan-tulisan yang sekian banyaknya itu disimpan dalam ruangan di klenteng Sam Po Keng Semarang, dalam gua, dalam ruangan yang mana, atau di rumah sekitar klenteng? Kalau disimpan dalam gua, jelas tidak mungkin karena tentunya guanya tak dapat memuat tulisan sebanyak itu. Lagi pula pada tahun itu lantai gua belum ditegel, jadi udara dan lantai cukup lembab, tentunya rusaklah tulisan-tulisan yang penting itu. Lagi pula gua-gua yang ada dalam klenteng itu adalah tempat ibadat utama yang mana ketika itu telah cukup banyak orang ber sembahyang. Kalau disimpan di dua rumah di ujung tikungan, juga tidak mungkin, karena kedua rumah tersebut sempit dan lagi didiami orang-orang Tionghoa miskin.
Demikianlah mengingat hal-hal diatas, dan lagi pula "Naskah Poortman" yang hilang itu, maka banyak ahli sejarah danpeminat sejarah yang berpendapat bahwa "Naskah Poortman " itu hanyalah isapan jempolnya Ir. Mangaraja Onggang Parlindungan saja.
Dengan demikian maka hopotesa yang mengatakan bahwa tokoh-tokoh kerajaan Islam Demak beserta para wali sembilan itu dikatakan sebagai orang-orang Tionghoa atau Tionghoa peranakan, adalah paling tidak diragukan kebenarannya, dibesar-besarkan, dan tidak dapat dipercaya kebenarannya, karena tidak ada bukti-bukti yang meyakinkan kebenarannya.
« Kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar