Keluarga para Wali Sembilan, termasuk para isteri dan para puteranya
sering ada yang kurang jelas. Hal ini disebabkah karena kekacauan di
dalam catatan silsilah dan keturunan yang ada. Bahkan dalam satu catatan
silsilah dan keturunan seorang wali dari wali sembilan itu terdapat dua
atau beberapa versi. Hal ini bisa ter jadi karena setiap versi itu
"didukung" oleh orang-orang atau oknum-oknom tertentu yang "mengakui"
bahwa dirinyalah yang termasuk keturunan Wali "A" atau Wali "B".
Demikian pula tentang isteri para Wali, karena yang tercantum dalam
catatan terkadang hanya seorang isteri dan dengan isteri tersebut sang
Wali mempunyai seorang atau beberapa orangputera, tetapi dalam cerita
lain disebutkan bahwa wali tersebut mempunyai putera-putera yang lain
yang tidak ada dalam catatan resmi. Ini bisa terjadi mungkin karena sang
wali tersebut tidak hanya seorang saja isterinya, tetapi lebih dari
satu. Mungkin demikian juga hal nya dengan Sunan Muria.
1. Dewi Sujinah, berputera Pangeran Santri.
Menurut catatan yang dapat dipercaya, isteri Sunan Muria bernama Dewi
Sujinah, puteri Sunan Ngudung alias Raden Usman Haji. Jadi Sunan Muria
adalah iparnya Sunan Kudus, karena Dewi Sujinah itu kakaknya Sunan
Kudus. Dewi Sujinah dimakamkan di belakang Masjid Menara Kudus, yakni di
komplek makam Sunan Kudus.
Dalam pernikahannya dengan Dewi Sujinah itu Sunan Muria mempunyai
seorang putera yang bernama Pangeran Santri yang kemudian dinamakan pula
Sunan Ngadilangu. Dengan sebutan Sunan Ngadilangu ini, maka dapat
menguatkan pula pendapat bahwa Sunan Muria adalah puteranya Sunan
Kalijaga yang berdomisili di Kadilangu Demak. Terbukti cucunya Sunan
Kalijaga ini (yakni Pangeran Santri) diberi paraban atau julukan pula dengan Sunan Ngadilangu.
2. Panembahan Pengulu Patih.
Menurut sumber dari Kadilangu Demak ('Tustoko Darah Agung"), Panembahan
Pengulu Patih adalah putera Sunan Muria. Yang disebutkan hanya satu
orang itu. Dan tentunya ini tidak membuka kemungkinan bahwa Sunan Muria
mempunyai putera lain selain Panembahan Pengulu Patih, yang tentunya
dari isteri yang lain. (Namun dalam catatan tidak disebutkan bahwa Sunan
Muria mempunyai isteri-isteri lagi selain Dewi Sujinah).
Sumber tersebut ada tertulis :
1. Raden Umar Said Sunan Muria
2. Berputera Panembahan Pengulu Patih
3. Berputera Panembahan Jogodipo, di Colo
4. Berputera Pangeran Sokusumo alias Pangeran Agung
5. Berputera Pangeran Wongsokusumo, di Jatikambang
6. Berputera Pangeran Joyotruno, di Jatipandak
7. Berputera Pangeran Hartokusumo, yang berputera tiga orang, yakni:
1). Pangeran Martokusumo (Cendono), yang mempunyai isteri bernama Raden
Ayu Retno Dumilah (keturunan Pangeran Wijil I dari Kadilangu Demak)
2). Pangeran Honggokusumo
3). Pangeran Honggotaruno Kanoman (Krandangan Pati).
Menurut sumber silsilah yang tercantum di makam Sunan Muria sekarang ini, tercantum sebagai berikut :
1. Sayid Amir Haji (Sunan Muria)
2. Berputera Panembahan Pengulu (Jogodipo)
3. Berputera Panembahan Reksokusumo (Pangeran Ageng, Colo)
4. Berputera Pangeran Wongsokusumo (P. Sedo Kambang)
5. Berputera Pangeran Teleng alias Joko Kusumo), yang berputera tiga orang, yakni :
1). P. Sosrokusumo (Kadilangu)
2). P. Honggokusumo (Pandak)
3). P. Mertokusumo (Cendono).
Menurut Juru Kunci makam Sunan Muria yang sekarang, yakni
Karto Dirono (lahir tahun 1911, keturunan Sunan Muria yang ke- 12 dan
dinas di pasareyan Sunan Muria sejak tahun 1927), * mengatakan bahwa
Panembahan Pengulu Jogodipo yang makamnya persis di belakang dinding
masjid Muria (sebelah selatan mihrab) itu adalah putera sulungnya Sunan
Muria.
Tetapi menurut sumber dari Kadilangu di atas, Panembahan Jogodipo
adalah cucunya Sunan Muria. (Silsilah yang tercantum di dinding makam
Sunan Muria seperti yang disebutkan di atas, menyebutkan bahwa
Panembahan Pengulu Jogodipo adalah putera sulungnya Sunan Muria).
Apakah nama Panembahan Pengulu Patih (sumber Kadilangu) itu sama orangnya dengan Panembahan Pengulu Jogodipo (sumber silsilah yang ada di makam Sunan Muria)? Karena sama-sama ada nama Panembahan Pengulu, meskipun yang pertama disebutkan Patih, yang kedua disebutkan Jojodipo. Wallahu’ lam.
3. Raden Ayu Nasiki.
Menurut Juru Kunci makam Sunan Muria (Karto Dirono), makam
(jirat nisan) yang ada di sisi (sebelah timumya) pasareyan atau nisannya
Sunan Muria, adalah puterinya Sunan Muria juga yang bernama Raden Ayu
Nasiki.
4. Dewi Roroyono.
Tentang Dewi Roroyono yang konon menurut cerita rakyat adalah isteri
Sunan Muria, ini memang tidak tercatat dalam buku-buku sejarah yang ada.
5. Raden Ayu Nawangsih.
Juga Raden Ayu Nawangsih dan Kebonabrang yang juga menurut cerita
rakyat adalah sebagai putera Sunan Muria, hal ini tidak tercatat dalam
buku sejarah. Mungkin masih ada isteri atau para putera Sunan Muria yang
lain, tetapi itu semua terdapat dalam dongeng cerita rakyat.
Wallahua’lam.
APAKAH SUNAN MURIA KETURUNAN PERANAKAN TIONGHOA ?
Di dalam sebuah buku sejarah berjudul "Runtuhnya Kerajaan Hindhu Jawa
dan timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara" tulisan Prof. Dr. Slamet
Muljana terbitan penerbit Bhratara, Jakarta tahun 1968, dijelaskan
bahwa para tokoh sejarah yang memegang tampuk pemerintahan kerajaan
Islam Demak dan di antara para Wali Sembilan adalah orang-orang Cina dan
keturunan Cina.
Bukunya Prof. Dr. Slamet Muljana itu mengambil sumber dari bukunya Ir.
Mangaraja Onggang Parlindungan yang berjudul "Tuangku Rao". Dan "Tuanku
Rao" disusun menurut sumber dari ringkasan preambule prasarannya Residen
Poortman kepada pemerintah Hindia Belanda, yang mana naskah Poortman
itu ber sumber dari dokumen yang didapat di klenteng Sam Po Kong
Semarang dan klenteng Talang Cirebon.
Bukunya Prof. Dr. Slamet Muljana "Runtuhnya Kerajaan Hindhu - Jawa dan
Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara" itu kemudian dilarang
beredar di seluruh wilayah Indonesia oleh Kejaksaan Agung tertanggal 26
Juni 1971 dengan No. Kep. 043/DA/6/1971. Adapun alasan dilarangnya buku
tersebut beredar di seluruh Indonesia adalah karena isi buku tersebut
dianggap "mengganggu ketertiban umum dan hukum di Indonesia, dan dengan
alasan untuk mencegah jangan sampai timbul hal-hal yang tak diinginkan
dalam masyarakat," demikian keterangan Kepala Bagian Hubungan Masyarakat
Kejaksaan Agung kepada "Antara" ketika itu.
1. Berita Dari Klenteng Sam Po Kong Semarang.
Dalam bukunya Prof. Slamet Muljana itu dijelaskan, bahwa cerita tentang
dokumen yang diketemukan di klenteng Sam Po Kong Semarang itu bermula
ketika pada tahun 1928 Poortman menjadi Acting Adviseur voor Inslandsche
Zaken van het Bin-nenlandsch Bestuur di Batavia, yakni semacam Pejabat
Penasehat Urusan Pemerintahah Dalam Negeri di Jakarta ketika itu. Pada
tahun itu pula, Residen Poortman ditugaskan oleh Pemerintah Kolonial
Belanda untuk menyelidiki apakah benar bahwa Raden Patah adalah orang
Tionghoa. Residen Poortman tahu, bahwa kata Jin bun adalah dialek Yunan
yang artinya orang kuat yang mana Raden Patah mendapat julukan nama Jin
Bun, padahal nama Jin Bun tidak pernah termuat dalam berita Tionghoa
dari keluarga Ming.
Pada tahun 1928 itu juga Residen Poortman berangkat ke Semarang.
Kebetulan sekali waktu itu sedang timbul pemberontakan oleh kaum
kemunis, maka baginya adalah kesempatan yang baik, yakni punya alasan
untuk menggeledah klenteng Sam Po Kong. Residen Poortman waktu itu
kemudian mengangkut semua tulisan Tionghoa dari klenteng tersebut
sebanyak tiga cikar (gero-bag sado). Tulisan-tulisan atau dokumen dari
klenteng Sam Po Kong tersebut oleh Residen Poortman kemudian dijadikan
bahan penyelidikan tentang Panembahan Jin Bun alias Raden Patah. Tidak
hanya Raden Patah saja yang dikatakan sebagai orang Tionghoa, tetapi
tokoh-tokoh kerajaan Islam Demak lainnya dan banyak di antara para wali
sembilan adalah orang-orang Tionghoa belaka. Kesimpulan itu dihubungkan pula dengan keterangan dari dukumen yang ditemukan di klenteng Talang Cirebon.
Namun hasil penelitian Poortman itu, atas permintaannya sendiri tetap
dirahasiakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, hanya boleh digunakan di
kantor oleh pejabat-pejabat tertentu, dengan alasan demi ketenteraman
pulau Jawa. Karena jika hasil penelitian itu diketahui oleh umum secara
luas, sudah pasti menirnbulkan kegoncangan dalam masyarakat Islam di
pulau Jawa. Di kalangan masyarakat Tionghoa mungkin timbul rasa
kebanggaan, karena di antara orang-orang Tionghoa perantauan terdapat
orang-orang penting baik dalam ketatanegaraan maupun dalam kehidupan
keagamaan. Maka tidak sembarang orang yang boleh membacanya, kecuali
hanya dapat dibaca di kantor-kantor saja oleh pejabat-pejabat tertentu.
Hasil penelitian Residen Poortman itu termuat dalam preambule suatu
praeadvies (prasaran) kepada pemerintah kolonial Belanda, dan prasaran
tersebut diberi tanda GZG singkatan dari Geheim Zeer Geheim, yang
artinya: sangat rahasia. Ditambah dengan keterangan uitsluitend voor
Dienstgebruik ten kantore, yang artinya: hanya boleh digunakan di kantor
saja.
Prasaran Poortman tersebut dalam bentuk cetakan, tetapi jumlahnya hanya
lima buah saja dengan tanda angka. Prasaran itu dimaksudkan terutama
hanya bagi :
1. Perdana Menteri Colijn.
2. Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
3. Menteri Jajahan.
4. Arsip Negara di Rijswijk di Den Haag, dan
5. Tentunya Residen Poortman sendiri pasti memiliki satu eksemplar.
Prasaran Poortman itu masih terdapat di Nederland, yakni di gedung
Rijswijk. Poortman sendiri meninggal dunia pada tahun 1951 di Voorburg.
Kiranya eksemplar Poortman jatuh ke tangan ahli warisnya. Dan Ir.
Mangaraja Onggang Parlindungan se bagai putera Sutan Martuaraja, amat
dikasihi oleh Residen Poortman. Ketika ia belajar di sekolah tinggi
tehnologi di Delft, ia sempat membaca dan mengutip preambule prasaran
tersebutdi Gedung Negara Rijswijk. Kutipan itu tersimpan hingga sekarang
di rumahnya. Saya (Prof. Dr. Slamet Muljana) mendapat kehormatan untuk
melihat catatan-catatan yang dibuat oleh Ir. Mangaraja Onggang
Parlindungan tersebut mengenai preambule Poortman. Kutipan dari
preambule itu lalu oleh Ir. Mangaraja Onggang Parlindungan dibeberkan
dalam bukunya yang berjudul "Tuanku Rao" sebagai lampiran. XXXI dari
halaman 650 hingga 672 *) Demikianlah, buku "Tuanku Rao" terutama
Lampiran XXXI dijadikan sumber utama oleh Prof. Dr. Slamet Muljana dalam
menyususn bukunya yang berjudul "Runtuhnya Kerajaan Hin-dhu-Jawa dan
timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara" yang kemudian telah dilarang
beredarnya oleh Jaksa Agung sebagai mana telah dijelaskan di muka tadi.
2. Sunan Muria Keturunan Cina?
Menurut berita dari klenteng Sam Po Kong Semarang yang dijadikan sumber
utama dalam penulisan buku "Runtuhnya Kerajaan Hindhu-Jawa dan
Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara," ternyata Sunan Kalijaga,
seorang "waliyullah," di antara Wali Sembilan yang terkenal di Jawa,
adalah seorang kapten Tionghoa di Semarang. Nama aslinya adalah Gan Sie
Gang. Demikian pula Sunan Ampel alias Bong Swie Hoo, Sunan Kudus alias
Ja Tik Su, dan Sunan Gunung Jati alias Toh A Bo. Sedangkan Sunan Bonang,
Sunan Giri dan Sunan Muria adalah sebagai orang-orang peranakan
Tionghoa belaka, dan ketiga beliau ini tidak pandai berbahasa
Tionghoa, karena beliau-beliau ini hidup dalam masyarakat Islam di
Jawa. **)
Identifikasi tokoh-tokoh Wali Sanga, para tokoh kerajaan Islam Demak
dan para tokoh di kabupaten Tuban dalam buku nya Prof. Dr. Slamet
Muljana tidak dijelaskan di sini, kecuali hanya Sunan Kalijaga sajalah
yang sedikit dijelaskan, karena beliau menurut sumber yang telah
dijelaskan pada Bab I ternyata adalah ayah dari Sunan Muria yang sedang
dibicarakan dalam buku ini.
Dalam bukunya Prof. Dr. Slamet Muljana mulai halaman 103 dikisahkan
bahwa Gan Eng Cu alias Bupati Tuban Aria Teja mem punyai putera yang
bernama Gan Si Gang alias Raden Mas Said Sunan Kalijaga dan Ni Gede
Manila. Ni Cede Manila ini diambil isteri oleh Bong Swie Hoo alias Sunan
Ampel. Dengan demikian maka Sunan Ampel adalah iparnya Sunan Kalijaga.
Apakah benar bahwa Kapten Cina yang bernama Gan Eng Cu alias Aria Teja
mempunyai putera yang bernama Gan Si Gang yang diidentifikasikan dengan
nama Sunan Kalijaga? Dikisahkan selanjutnya bahwa setelah Jin Bun alias
Raden Patah Sultan Demak berhasil merobohkan kerajaan Majapahit pada
tahun 1478, Kin San alias Raden Kusen selaku orang yang paling berkuasa
di Semarang, mengangkat Gan Si Cang alias Sunan Kalijaga sebagai Kapten
Cina. Dalam kerja sama dengan Gan Si Cang ini Kin San berhasil membangun
kembali penggergajian kayu dan galangan kapal Semarang yang sudah
sangat terbengkelai.
Pada tahun 1481 atas desakan para tukang kayu di galangan kapal
Semarang, Gan Si Cang selaku Kapten Cina menyampaikan permohonan kepada
Kin San untuk ikut membantu penyelesaian bangunan Masjid Agung Demak.
Permohonan itu dilanjutkan ke pada Jin Bun sebagai penguasa tertinggi
(Sultan Demak I) di kerajaan Islam Demak. Jin Bun pun menyetujuinya.
Demikianlah, pembangunan Masjid Agung Demak itu diselesaikan oleh
tukang-tukang kayu di galangan kapal Semarang di bawah pimpin an Gan Si
Cang (Sunan Kalijaga) selaku Kapten Cina. Saka tatal Masjid Demak
dibikin menurut konstruksi tiang kapal, tersusun dari kepingan-kepingan
kayu yang sangat tepat dan rapi.
Demikianlah maka Sunan Kalijaga yang waktu mudanya her nama Raden Mas
Said itu diidentifikasikan dengan Gan Si Cang, Kapten Cina Semarang,
putera Gan Eng Cu alias Aria Teja, Bupati Tuban.
Karena dalam pembicaraan sebelumnya terdapat sumber yang mengatakan
bahwa Sunan Muria adalah putera Sunan Kalijaga, maka dengan demikian
Sunan Muria adalah keturunan orang Tionghoa, artinya Sunan Muria adalah
orang Tionghoa peranakan yang konon tidak pandai atau tidak dapat
berbahasa Tionghoa, karena sejak kecil beliau diasuh dalam masyarakat
Islam di Jawa.
3. Pro dan Kontra.
Ternyata hasil penyelidikan Residen Poortman yang bersumber dari
kroniek klenteng Sam Po Kong Semarang mengenai identifikasi tokoh-tokoh
wali sanga dan tokoh-tokoh kerajaan Islam Demak adalah orang-orang Cina,
menimbulkan pro dan kontra di antara para ahli maupun peminat sejarah.
Dalam buku saya berjudul "Sunan Kalijaga" telah banyak dijelaskan ten
tang fihak para ahli yang tidak menyetujui hyphotesa Residen Poortman.
Antara lain fihak yang tidak setuju adalah Prof. G.W.J. Drewes, bekas
Guru Besar Sastra Arab di Fac. der Letteren pada Universitas Leiden dan
bekas Ketua Oosters Genootschap di Nederland, lahir tahun 1899, pernah
memimpin "Balai Pustaka" (1930) Jakarta, dan menjadi Guru Besar Hukum
Islam di Indonesia, dan hingga tahun 1970 beliau menjabat Guru Besar di
Universitas Leiden, Nederland.
Ketika pada tanggal 23 Desember 1971 beliau memberi ceramah di Gedung
LIPI Jakarta, atas pertanyaan Prof. Dr. H.M. Rasyidi sehubungan dengan
para wali sembilan yang di dalam naskah Poortman adalah keturunan Cina,
beliau menjawab bahwa hal itu tidak mempunyai dasar yang kuat.
Selanjutnya beliau mengatakan bahwa Prof. Dr. Slamet Muljana di dalam
menyusun bukunya, yang menggunakan sumber "Tuanku Rao" karya Ir.
Mangaraja Onggang Parlindungan itu, ternyata "Tuanku Rao" tidak mempunyai dasar dan bukti-bukti yang meyakinkan. Sumber-sumber
tersebut diambil dari Babad Tanah Jawi, Serat Kanda, Kroniek Cina dari
klenteng Sam Po Kong Semarang dan klenteng Talang Cirebon, semua sumber
itu tidak pernah dipakai oleh para ahli sejarah. Sedangkan sumber-yang dari klenteng Sam Po Kong Semarang, Prof. Dr. Slamet Muljana telah menggunakannya lewat tangan ketiga.
Kemudian menurut Prof. Dr. Tujimah, Guru Besar dalam Bahasa Arab dan
Sejarah Islam di FSUI Jakarta, mengatakan bahwa para Wall Sanga yang
dikatakan sebagai orang-orang Cina itu tidak dapat dipertanggung
jawabkan kebenarannya, karena antara lain bahwa kecuali sumber-sumber
yang digunakan daiam raenyusun hyphotesa tersebut belum banyak dipakai
oleh para sarjana, juga bahwa sumber-sumber tersebut penuh dongeng dan
legende, dan bahwa lebih memberatkan dan menerima 100 persen sumber Cina
atau membesar-besarkan pengaruh Cina, dan sama sekali tidak menggunakan
sumber dari Portugis.
Mungkin juga ada nama-nama pribumi asli yang dibaca atau ditulis
menurut lidah Cina, karena pengaruh setiap bahasa dan lidah sesuatu
bangsa atas bahasa yang lain memungkinkan terjadinya penyesuaian ejaan.
Contohnya seperti khabar menjadi kabar, ilan menjadi iklan, dan
sebagainya. Lebih-lebih pendatang baru bangsa Cina yang disebut totok,
huruf "r" (Indonesia) ditukar menjadi huruf "1". Sehingga kerja menjadi
kelja, borong menjadi belong, sabar menjadi sabal, dan sebagainya.
Akhirnya terjadi lah seperti itu, terdapat nama-nama yang berubah dari
nama asalnya, seperti dalam naskah Poortman, Kertabhumi menjadi King Ta
Bu Mi, Suhita menjadi Su King Ta, Trenggana menjadi Tung Ka Lo, Mukmin
menjadi Muk Ming, Bonang men jadi Be Nang, Ki Ageng Gribig menjadi Siawu
Ji Big, Ki Ageng Pengging menjadi Hong Pa Hing, Jaka Tingkir menjadi Na
Pao Cing, Bintoro menjadi Bing To Lo, Raden Kusen menjadi Kinsan,
Toyyib (Pangeran Hadiri, suami Ratu Kalinyamat) menjadi Too Yit, gelar
kebangsawanan Arya menjadi A Lu ya, Ja'far Shodiq (Sunan Kudus) menjadi
Ja Tik Su, Jambi menjadi Chan Pei, dan sebagainya.
Lagi pula di dalam bukunya Prof. Dr. Slamet Muljana ter dapat
kontradiksi antara tokoh Fatahillah (Toh A Bo) yang menjadi ipar dan
sekaligus sebagai putera Sultan Trenggono (Tung Ka Lo). *) Demikianlah
keterangan Prof. Dr. Tujimah. Untuk lebih jelasnya bacalah buku saya,
"Sunan Kalijaga" cetakan ke- 7 terbitan Menara Kudus 1982.
4. Dokumen yang Hilang.
1 "Naskah Poortman" yang kemudian menjadi "Lampiran XXXI
dalam Tuanku Rao." yang konon dicetak hanya terbatas untuk kalangan
tertentu saja, ternyata hingga sekarang ini tidak dapat diketemukan
walaupun satu lembar sekalipun.
Naskah yang diberikan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang
berkedudukan di Istana Merdeka Jakarta, ternyata di sana, yakni di ruang
arsip, tidak diketemukan. Kata Ir. Parlin-dungan, yang di Jakarta itu
tersimpan di 'Museum Jakarta," tetapi kemudian "hilang ketika Jepang
masuk ke Indonesia." Entah ini gara-gara Ir. Parlindungan untuk
menghilangkan "jejak" atau benar-benar "hilang ketika Jepang masuk,"
tidak ada orang yang tahu.
Menurut Ir. Parlindungan lagi, konon yang lain disimpan di "Museum
Granada Spanyol." dan ada lagi yang disimpan di Gedung Negara Rijswijk
di Nederland. Namun seorang orientalist Perancis yang ternama, Denys
Lembard, karena tertarik akan penemuan yang sensasionil itu, dalam masa
cutinya ia telah memerlukan pergi ke negeri Belanda untuk mencari
naskah-naskah yang dikatakan sebagai Prasaran Residen Poortman itu,
tetapi ia tidak menemukan hasil apa-apa. Bahkan putera almarhum Residen
Poortman sendiri tidak tahu menahu tentang apa yang dikatakan sebagai
naskah laporan yang katanya dicetak dalam jumlah ter batas itu. Terlebih
pula, gedung negara Risjwijk yang dikatakan sebagai tempat menyimpan
naskah Poortman di Den Haag itu ter nyata tidak pernah ada. Yang ada
hanyalah Algemeen Rijk-sachief. **)
Beberapa ahli seperti Lance Castles dari Universitas Yale, dan M.C.
Ricklefs dari Universitas London, keduanya pernah mengecek "Naskah
Poortman" langsung ke Nederland, tetapi naskah tersebut tidak ada !
***). Bahkan menurut kedua ahli tersebut, mengatakan bahwa gedung
Rijswijk pun tidak pernah ada!
Seorang peminat sejarah di bidang ini (yakni seputar Naskah Poortman)
dari Semarang bernama Liem Ek Hian, pernah bertanya kepada gurunya di
Nederland tentang naskah Poortman dan ia minta agar gurunya itu sudi
mengecek naskah yang kontroversiil tersebut, tetapi setelah dicek,
ternyata juga tidak diketemukan naskah Poortman tersebut.
Juga Liem Ek Hian pernah minta tolong kepada suami isteri Leonard
Blusse, keduanya adalah sinolog yang sedang mengumpul kan bahan-bahan
untuk keperluan disertasinya, diminta agar kedua nya menyelidiki "Naskah
Poortman" di perpustakaan Fakultas Sinologi di Leiden (negeri Belanda)
dan di tempat-tempat lainnya, tetapi dalam jawabannya Leonard Bluuse
mengatakan bahwa ia tidak berhasil menemukan. (TEMPO, 10 Mei 1980).
Menurut para ahli lainnya, ternyata "Naskah Poortman" itu hanya bikinan
Ir. Parlindungan saja. Lihatlah hasil wawancara Prof. Dr. Sartono
Kartodirdjo dengan wartawan Andre Hardjana dalam Sinar Harapan 11 - 10 -
1971 ; Drs. R. Pitono Hardjowardojo dalam Catatan tentang Kronik Sam Po
Kong dalam Liberty 20 - 12 - 1969 ; Drs. Hasan Djafar dalam
Girindrawardhana, Beberapa Masalah Majapahit Akhir, Jakarta, 1978,
hal. 21 ; Prof. Dr. Hamka, dalam Antara Fakta dan Khayal Tuanku
Rao,Jakarta, 1974. (TEMPO, 29 Maret 1980).
Tentang "tiga gerobag naskah dalam klenteng Sam Po Kong Semarang,"
benar-benar Prof. Dr. Slamet Muljana hanyalah cuma mengandalkan catatan
Ir. Parlindungan saja. Hal ini pernah diragu kan oleh Liem Ek Hian dalam
TEMPO No. 11 tahun X, bahwa gerobag di Semarang ketika jaman
dirampasnya tulisan dari klenteng Sam Po Kong itu rata-rata berukuran
1V6 x 2 x 1 m 3 = 3 m3, jadi isinya tiga gerobag berarti lebih kurang 9
m3.
Kemudian di manakah letak tulisan-tulisan yang sekian banyaknya itu
disimpan dalam ruangan di klenteng Sam Po Keng Semarang, dalam gua,
dalam ruangan yang mana, atau di rumah sekitar klenteng? Kalau disimpan
dalam gua, jelas tidak mungkin karena tentunya guanya tak dapat memuat
tulisan sebanyak itu. Lagi pula pada tahun itu lantai gua belum ditegel,
jadi udara dan lantai cukup lembab, tentunya rusaklah tulisan-tulisan
yang penting itu. Lagi pula gua-gua yang ada dalam klenteng itu adalah
tempat ibadat utama yang mana ketika itu telah cukup banyak orang ber
sembahyang. Kalau disimpan di dua rumah di ujung tikungan, juga tidak
mungkin, karena kedua rumah tersebut sempit dan lagi didiami orang-orang
Tionghoa miskin.
Demikianlah mengingat hal-hal diatas, dan lagi pula "Naskah
Poortman" yang hilang itu, maka banyak ahli sejarah danpeminat sejarah
yang berpendapat bahwa "Naskah Poortman " itu hanyalah isapan jempolnya
Ir. Mangaraja Onggang Parlindungan saja.
Dengan demikian maka hopotesa yang mengatakan bahwa tokoh-tokoh
kerajaan Islam Demak beserta para wali sembilan itu dikatakan sebagai
orang-orang Tionghoa atau Tionghoa peranakan, adalah paling tidak
diragukan kebenarannya, dibesar-besarkan, dan tidak dapat dipercaya
kebenarannya, karena tidak ada bukti-bukti yang meyakinkan kebenarannya.